Baru menonton Cin(t)a

Standar

Serentetan email menyenrentak bagaikan revolver dikotak inbox facebook saya, ah ternyata sebuah promo film, saya pikir undangan nonton film gratis, dem! ternyata cuma promo, dan judulnya sama sekali tak menyontek hasrat untuk menonton, pake branding cinta-cinta, jujur kalimat itu ketika diungkapkan secara berani dan terang-terangan somehow kelihatan fake.

Lalu kapan saya mulai berhasrat menonton film ini? ya rentetan messages adalah salah satunya tapi sama sekali bukan pemicu, dimulai dengan status seorang teman di facebook : “semua ribut mau nonton cin(T)a, untung gw udah nonton”,  dimulailah pertanyaan itu apa sih untungnya? so what kalau udah nonton ini? mulailah saya mengecek di om Google, mulailah saya pasang status di facebook, menunggu respon dari teman, eh ternyata ada yang ngerespon, jadilah saya meniatkan diri untuk menonton, tapi saya sama sekali tidak ribut-ribut, just pengen nonton yang namanya film indie itu seperti apa that’s it.

Maaf mas yang jam 20.00 sudah penuh, adanya yang jam 21.45, tak apalah saya dan teman saya ambil yang jam segitu.

Oke saya datang ke ruangan tepat waktu pada jam 21.45 demi untuk tidak melewatkan adegan sedetik pun, tapi lohh? serentetan extra ads menyerentak cukup lama dan SANGAT membunuh waktu, membuat saya berpikir apa iya yang namanya film indie itu mesti banyak iklannya? atau yang banyak iklannya cuma di blitz aja? secara di 21 setahu saya iklannya gak sebanyak itu.

Oke oke oke, mari menonton; secara garis besar saya mengerti film ini berusaha untuk mengangkat tema-tema pluralisme dan romantika, plus kritikan centil nan nyentil untuk sistem negeri ini, ya semua itulah menurut saya yang membangun semua dialog-dialog intelek nan filosofis yang diramu dengan lompatan-lompatan aneh teori-teori Newton, hmm dialog? wait, somehow (sebagai pria Idaman) saya melihat dialog-dialog yang ada di film itu tak lebih dari sekedar pertukaran cumbu rayu dua manusia saja.

Dialog-dialog yang terkesan smart dari awal hingga akhir film menurut hemat saya jelas mau menyampaikan pesan dialog interfaith yang dikemas dalam kisah romantika tragik, ya dialog yang disampaikan dengan bibir dan tatapan penuh makna (ah gw banget 😉 ) , tapi kenapa ya unsur tragik dalam film ini kelihatan seperti “sinetronish”, yang membuat cewek yang duduk di samping kanan sayah sesenggukan pas di akhir-akhir film (ah saya jadi yakin pasti sebagian besar cewek akan tesedu-sedu mellow ndak jelas gitu sehabis nonton film ini, ah sudahlah…).

Okey let’s just wrap up!

Aktornya? ah bolehlah, fair enough,

Background nya? kampus ITB ini yang menarik buat saya, saya pernah tinggal di dekat kampus itu, jujur saya sangat appresiatif dengan sambutan hangat teman-teman di sana  sewaktu saya berkunjung ke sana, cuma saya sedikit tersiksa dengan kewajiban solat lima waktu secara berjamaah di masjid salman itu, ah bolehlah sebagai tamu saya harus berlaku sebagai tamu, bukan sebagai tuan rumah 😉 , dan para perempuan extreme jilbaber yang berseliweran di mana-mana, padahal notabene ini bukan kampus Islam, aneh, saya juga sangat mafhum ungkapan yang diucapkan oleh Cina di film ini, “katanya yang mengucapkan selamat Hari Natal masuk neraka ya?, gw lihat di poster di kampus tadi”, saya sangat mafhum sekali ungkapan tersebut (CMIIW).

Setting waktu; sekitar 1999-2000, pada waktu-waktu itu memang bola-bola pluralisme perlahan mulai menggelindir di republik ini, dan di rentang waktu itulah ke-bhinnekaan dan unity in diversity bangsa ini sedang diuji, dan tepat di rentang waktu itulah saya merasakan kehadiran republik ini yang sesungguhnya, setting time nya boleh lah.

Filmmaking: hmm kayaknya sih film ini terkesan kejar tayang, dan terlihat beberapa bagian yang belum teredit secara sempurna.

Overall?? dapet 3.5 bintang lah dari 5 bintang, but still masih bukan film yang harus ditonton, but so so lahh…

Satu tanggapan »

Tinggalkan komentar